Perlu Telusuri Mafia Peradilan dengan Eksaminasi Putusan PN Jakbar Perkara 320 Soal Sengketa Waris
Oleh : JJ Amstrong Sembiring SH MH
(Praktisi Hukum/ Alumni Universitas Indonesia)
Jakarta – KabarNet: Bilamana menelusuri, istilah eksaminasi berasal dari bahasa Inggris examination yang berarti ujian atau pemeriksaan. Dalam konteks produk peradilan [putusan pengadilan, dll] maka eksaminasi berarti melakukan pengujian atau pemeriksaan terhadap produk-produk tersebut. Eksaminasi sering dilakukan terhadap produk peradilan yang menyimpang.
Oleh karena itu perlu adanya eksaminasi, eksaminasi dapat dilakukan terhadap perkara pidana, perdata atau niaga. Diluar bidang tersebut tetap dimungkinkan untuk dieksaminasi. Suatu perkara untuk dapat dieksaminasi minimal harus memenuhi 3 (tiga) kriteria : Pertama, Dinilai sangat kontroversial, baik dari segi penerapan hukum acara dan atau hukum materiilnya serta dianggap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Kedua, Memiliki dampak sosial yang tinggi (social impact). Perkara tersebut mendapat perhatian yang luas dari masyarakat, memiliki dampak langsung ataupun tidak langsung merugikan masyarakat, misalnya Perkara korupsi dan HAM. Ketiga, Ada indikasi korupsi (judicial corruption) atau mafia peradilan sehingga hukum tidak dijalankan sebagaimana mestinya
Dalam kaitan itu relevansi, tampak sebagaimana dalam putusan perkara 320 Soal Sengketa Waris “lihat : baca artikel Mansyur S di kompasiana kemarin berjudul “Gue Liat Dashyatnya Mafia Peradilan Itu Bisa Hancurkan Hak Fundamental Ahli Waris” disitu jelas sekali ketidakprofesionalan “intrik” majelis hakim PN JakBar tidak fair, jujur, arogan dan sebagainya menyidangkan perkara.
Masih teringat dibenak kita, peneliti ICW, Febri Diansyah, Minggu (5/6/2011), di kantor ICW, Jakarta pernah mengungkapkan bahwa di dalam tahap persidangan, lanjutnya, pola mafia peradilan yang dilakukan yakni dengan penentuan majelis hakim favorit. Febri mengungkapkan, perkara “basah” biasanya akan ditangani oleh ketua pengadilan negeri (PN) sebagai ketua majelis hakim.
Pola-pola itu dipraktekkan di dalam perkara 320 PN Jakarta Barat, dimana dalam perkara tersebut ketua majelis hakim Amril, SH., M.Hum (sekarang mantan Ketua PN Jakarta Barat), kemudian karena masa jabatan selesai ia digantikan majelis hakim baru susunan anggota adalah Sigit Hariyanto, SH. MH dan Julien Mamahit, SH serta Ketua Majelis Harijanto, SH, MH, yang sebelumnya dengan susunan majelis hakim Amril, SH., M.Hum, Harijanto, SH, MH, Sigit Hariyanto, SH. MH.
Kemudian peneliti ICW, Febri Diansyah mengatakan lagi, selanjutnya, panitera diminta menghubungi hakim tertentu yang bisa diajak kerja sama. Pengacara langsung bertemu dengan ketua PN untuk menentukan majelis hakim. Pada tahap ketiga yakni putusan, pola mafia peradilan yang dilakukan adalah dengan menegosiasi putusan. “Vonis dapat diatur melalui jaksa dalam sistem paket atau langsung ke hakim,” tutur Febri.
Hakim PN Jakarta Barat
Tak heran perilaku hakim menyidangkan perkara tersebut seperti tidak mempunyai etika professional dan jika memakai tesis berpikir peneliti ICW tersebut, dimana selama persidangan majelis hakim tersebut protektif banget, saking protektifnya sehingga salah seorang anggota Hakim di PN Jakarta Barat, Sigit Hariyanto, SH, MH, tertangkap tangan sedang memimpin sidang sambil menggunakan handycam, kemudian sidang tersebut ditutup tanpa ada agenda jadwal berikutnya, dan belum lagi manipulasi-manipulasi persidangan yang tidak dimasukkan didalam putusan tersebut, belum diungkapkan. Aneh !
Hakim PN Jakarta Barat
Dan jika meminjam istilahnya Busyro Muqodas saat menjadi pimpinan ketua Komisi Yudisial, mereka memainkan pada teknis yudisial, seperti mengubah pertimbangan hukum tidak sesuai fakta,” Komisi Yudisial sendiri pernah mengakui ada sejumlah hakim yang menjadi bagian dari mafia peradilan.
“Rekayasa seluruh proses persidangan dalam sidang maraton semua unsur disiapkan,” ucapnya. Febri mengatakan, hakim pun tak malu untuk meminta “uang capek” kepada klien jika kedudukan hukum kuat. Negosiasi lain yang diambil adalah terdakwa tidak perlu hadir saat pembacaan putusan karena semua sudah diurus pengacara.
Fenomena Itu juga terjadi di dalam perkara 320 PN Jakbar, saat pembacaaan putusan dimana kuasa hukum intinya tidak hadir di dalam persidangan kemudian digantikan pada saat itu juga dengan anak buahnya dengan surat kuasa substitusi. Pengacara inti adalah Manuarang Manalu dan Mangapul Sitorus merupakan kolega Taripar Simanjuntak (staf kantor hukum Rudy Lontoh).
Dalam hal ini, uang lagi-lagi berbicara. “Saat membuat putusan, hakim juga bisa melanggar batasan hukum minimal yang diatur undang-undang,” ujar Febri.
Analisi peneliti ICW tersebut tepat sekali, hal ini terjadi dimana majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja tidak dan/ atau belum memeriksa secara seksama secara keliru dalam pertimbangan putusan, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga tidak jujur dimana saksi-saksi dibawah sumpah yang dihadirkan dimuka persidangan banyak dipotong keterangannnya sehingga menjadi suatu keterangan tidak utuh menimbulkan makna sangat berbeda
Bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja tidak cermat dalam pertimbangan putusannya, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak arif dan bijaksana.
Bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja keliru, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga tidak arif dan bijaksana,, dimana pada tanggal 6 November 2013 sidang perkara perdata nomor 320 di gelar dengan materi sidang agenda saksi fakta bernama Siti Marica (bekerja sebagai karyawan di kantor notaris) ditolak oleh majelis hakim dan majelis hakim tersebut dengan angkuh dan tidak arif bijaksana menolak dengan alasan pasal 145, 146, 147 HIR.
Bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat bukan saja keliru dalam pertimbangan putusan pada halaman Hal 55 dari 100 hal Putusan no. 320/ Pdt.G/ 2013/ PN.JKT.BAR, kenyataan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat juga tidak arif dan bijaksana memahami pasal 1320 KUH Perdata tersebut. Bahwa pemahaman terhadap pasal tersebut tidak bisa ditafsirkan secara artifisial karena ada penjelasan lanjut menegaskan tentang kesepakatan dimaksud di dalam pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian atau kontrak juga harus memenuhi empat syarat 1. Sepakat bagi mereka mengikatkan diri. Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya dan kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. 2. Cakap untuk membuat suatu perikatan. Pasal 1329 KUH Perdata, menyatakan bahwa setiap orang cakap untuk membuat suatu perjanjian, kecuali apabila menurut Undang-undang dinyatakan tidak cakap. 3. Suatu hal tertentu, Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. J.Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikti dapat ditentukan jenisnya 4. Suatu sebab (causa) yang halal. Menurut pasal 1335 jo 1337 KUH Perdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika pertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum..
Bahwa Akta Persetujuan Dan Kuasa No. 09 Tertanggal 8 April 2011 dibuat dihadapan Nyonya Soehardjo hadie Widyokusumo, SH., Notaris di Jakarta tersebut halaman 2 dan 6 sebagai berikut : Untuk mewakili para penghadap, sesuai Akta pernyataan kesepakatan Bersama, yang telah ditandatangani pada hari ini, Nomor : 6 dibuat dihadapan Notaris, untuk :
- Melaksanakan proses balik nama kepada penerima kuasa; untuk menjual, memindahkan mengoperkan dan/ atau menghibahkan kepada siapapun/ Pihak lain dengan harga yang dipandang pantas dan baik oleh penerima kuasa, atas;
- Untuk keperluan tersebut penerima kuasa dikuasakan untuk menghadap Notaris/ Pejabat pembuat akta Tanah setempat, memberi keterangan-keterangan, membuat, meminta dibuatkan, mendatangani surat/ akta, umumnya menjalankan segala tindakan hokum yang perlu dan berguna untuk tercapainya maksud tersebut tidak ada tindakan yang dikecualikan ;
Bahwa secara moral hukum, Akta Persetujuan Dan Kuasa No. 09 Tertanggal 8 April 2011 tersebut pada prinsipnya untuk melindungi dan menjaga kelangsungan hidup Almarhumah Soeprapti saat itu sakit parah komplikasi sehingga urusan-urusan lain berkaitan dengan keuangan diserahkan kepada kakaknya kemudian dikuasai semuanya.
Dimana kondisi kesehatan Almarhumah Soeprapti saat itu semakin memburuk tak berdaya, sebagaimana hal itu juga telah dibuktikan dengan jelas-jelas di dalam surat berkas gugatan pada tahun 2008 bernomor 113/L&P-SU/VIII/08 yang diajukannya kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dibawah Daftar No : 874/ Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel, Tanggal 23 Juli 2008. Dimana dalam surat gugatan tersebut di tahun 2008, Kuasa Hukum TERGUGAT menyatakan secara tegas dan jelas terang benderang di halaman 11 (sebelas) poin 16, sebagai berikut : “….untuk memenuhi KEBUTUHAN DANA YANG SANGAT MENDESAK BAGI ALMARHUMAH SOEPRAPTI YAITU UNTUK MELAKUKAN PENGOBATAN ATAS PENYAKITNYA YANG DIDERITANYA, YAITU SAKIT JANTUNG, GANGGUGAN FAAL DAN SAKIT SUSUNAN SYARAF PUSAT SEHINGGA SAMPAI SEKARANG ALMARHUMAH SOEPRAPTI HARUS DUDUK DIKURSI RODA SERTA MENGGUNAKAN ALAT BANTU GUNA MENOPANG FUNGSI GINJALNYA…..”
Yang tidak dapat diterima akal sehat bahwa kenyataan setelah orang tua meninggal dunia dimana kakaknya bernama Soerjani sebagai penerima kuasa bersifat mutlak kuasanya kerena tidak dapat dicabut kembali oleh Pemberi Kuasanya, bahkan bila si Pemberi Kuasa meninggal sekalipun. Dimana kemudian kakaknya bernama Soerjani jelas-jelas secara nyata menyalahgunakan kepentingan kuasa tersebut dengan menghilangkan hak bagian mutlak adiknya sebagai ahli waris lain sah dari Almarhurmah Soeprapti. Bagian mutlak adalah bagian dari warisan yang diberikan Undang-Undang kepada ahli waris dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, dimana bagian mutlak tersebut tidak boleh ditetapkan atau dicabut dengan cara apapun oleh pewaris, baik secara hibah-hibah yang diberikan semasa pewaris hidup maupun dengan surat wasiat melalui hibah wasiat (legaat) dan erfstelling.
Lagipula, tidaklah logis juga, Akta Persetujuan Dan Kuasa No. 09 Tertanggal 8 April 2011 nyata-nyata dilakukan oleh kakaknya untuk membuka peluang terjadinya kecurangan perdata, dan tentunya hal tersebut juga tidak diperbolehkan oleh hukum terlebih kesepakatan dan persetujuan yang timbul dengan itikad tidak baik dan menghilangkan jaminan kepastian serta perlindungan terhadap hak bagian mutlak dari ahli waris sah lainnya.
Bahwasanya Undang-undang menentukan bahwa perbuatan hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Undang-undang adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat.
Adapun dasar hukum surat kuasa di Indonesia adalah Pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pengaturan mengenai surat kuasa mutlak dan dampak sebuah surat kuasa mutlak tersebut adalah pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasanya dari penerima kuasa. Biasanya sebuah surat kuasa akan dianggap sebagai surat kuasa mutlak dengan dicantumkan klausula bahwa pemberi kuasa akan mengabaikan (waive) Pasal 1813 jo. Pasal 1814 KUHPerdata mengenai cara berakhirnya pemberian kuasa. Menurut kedua pasal itu, kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa dari penerima kuasa, pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa, meninggal, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun penerima kuasa, dan penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa.Dengan pencantuman klausula yang mengabaikan kedua pasal itu, maka pemberi kuasa menjadi tidak dapat lagi menarik kembali kuasanya tanpa kesepakatan pihak penerima kuasa. Dasar pemikiran yang mendukung pengabaian Pasal 1813 jo Pasal 1814 a quo adalah karena hukum perdata memiliki prinsip sebagai hukum pelengkap atau aanvullen recht. Selain itu tentu saja prinsip inti dari semua perjanjian, yaitu pact sunt servanda, asas konsensualisme, dan asas kebebasan berkontrak.
Bunyi Pasal 1972 KUHPer (Engelbrecht 2006) adalah sebagai berikut: Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa. Berdasarkan ketentuan itu, maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa adalah adanya persetujuan, yang berisi pemberian kekuasaan atau kepada orang lain dimana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Dengan tetap berpegangan pada unsur-unsur itu, maka dapat disimpulkan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa terjadi hubungan seperti layaknya atasan dan bawahan, karena penerima kuasa harus menjalankan tugas dari pemberi kuasa. Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasa-pun juga mutlak berasal dari dirinya. Mustahil pemberi kuasa dapat melimpahkan kekuasaan yang merupakan milik orang lain.
Karena kekuasaan pemberi kuasa adalah mutlak, maka dirinya juga memiliki kebebasan penuh untuk mencabut kekuasaan tersebut dari penerima kuasa. Memang masih dimungkinkan pemberi kuasa memperjanjikan untuk tidak menarik kembali kuasa yang telah diberikan. Namun tetap saja praktek semacam ini kedengarannya sangat janggal, karena ada sebuah kekuasaan yang berasal dari pemberi kuasa namun dia tidak diperbolehkan untuk menarik kembali kekuasan tersebut.
Lebih lanjut, pencantuman persetujuan dari pemberi kuasa untuk mengabaikan Pasal 1813 jo. Pasal 1814 KUHPerdata menurut penulis adalah praktek yang sangat aneh bin ajaib. Memang benar sebagai hukum pelengkap, maka ada beberapa pasal dalam KUHPer yang dapat diabaikan. Namun penyimpangan itu hanya berlaku untuk pasal-pasal tentang perjanjian dalam buku III KUHPerdata, itupun tidak semua pasal boleh diabaikan begitu saja. Sedangkan ketentuan pemberian kuasa diletakkan pada Buku IV, sehingga walau ada sifat persetujuan dalam pemberian kuasa. Akan tetapi persetujuan tersebut bukanlah persetujuan bersifat dua arah dan bertimbal balik seperti perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.
Lagipula, tidaklah logis apabila Pasal 1813 KUHPer diabaikan, selain karena sifat dan kekuatan hukum dari pasal tersebut yang memang tidak boleh diabaikan, ketentuan pasal tersebut juga tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja, apalagi oleh perjanjian saja, kecuali bila revisi tersebut dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Sesuai dengan Pasal 1813 KUHPer, maka salah satu mekanisme berakhirnya surat kuasa adalah manakala pemberi kuasa meninggal, dalam pengampuan ataupun pailitnya salah satu pihak, dilihat dari segi apapun, maka syarat berakhirnya kuasa dari pasal a quo sangat logis. Yang tidak dapat diterima akal sehat adalah para pihak yang mengabaikan bunyi pasal tersebut. Karena dengan demikian mereka mengatakan bahwa walaupun salah satu pihak meninggal atau pailit, maka hubungan kuasa tersebut tetap dapat berjalan.
Analisa hukum paling sederhanapun akan mengatakan bahwa mengingat kekuasaan berasal dari pihak pemberi kuasa, dengan meninggalnya pemberi kuasa, maka kekuasaan yang telah diberikan kepada orang lain yang berasal dari dirinyapun akan hilang dengan sendirinya
Bahwa kakaknya bernama Soerjani sebagai penerima kuasa bersifat mutlak juga terlarang karena Surat Kuasa Mutlak (irrevocable power of attorney) pada saat ini tidak diperbolehkan lagi yaitu berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 6 Maret 1982 nomor 14/1982 jo Jurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 14 April 1988 nomor 2584. Pembuatan kuasa mutlak ini sebelumnya banyak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, surat kuasa mutlak tersebut tidak dapat dan tidak boleh dipraktekan karena tidak sejalan dengan undang-undang yang berlaku.
Akhir paparan peneliti ICW tersebut juga mengatakan, bahwa selain itu, di dalam proses peradilan banding, pola mafia peradilan terjadi saat menegosiasikan putusan. “Mereka bisa langsung menghubungi hakim untuk memengaruhi putusan,” tuturnya.
Maka dalam kaitan itu, sebagaimana dilansir berbagai media nasional tentang perilaku hakim menggunakan handycam yang tidak patut dicontoh, media online situs berita detik.news memberitakan sikap hakim Pengadilan Negeri Jakarta barat (Jakbar) tersebut dilaporkan ke Komisi Yudisial Republik Indonesia. Saya sebagai anggota masyarakat mempertanyakan sejauh kelanjutan tersebut, karena ini sangat penting jika tidak dilakukan penindakan tegas terhadap model hakim seperti itu demikian, jika tidak dipastikan akan berdampak pada konsistensi, harmonisasi penegakan hukum secara vertikal maupun horisontal dalam kehidupan anggota warga negara di tengah-tengah masyarakat.
Dibutuhkan sikap Komisi Yudisial yang tegas dan tanpa pandang bulu diharapkan tetap terjaminnya tertib hukum dan kepastian hukum serta tetap terjaga sebagaimana prinsip yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang menjunjung tinggi supremsi hukum dan demokrasi. Saya, anda atau kita semua rindu terhadap aparat penegak hukum yang jujur dan adil obyektif memutus perkara bebas dengan isu suap, sehingga hukum menjadi panglima di tanah air tercinta ini.
Akhirnya menutup tulisan ini, saya ingin meminjam pemikiran sang Hakim Agung Artidjo Alkostar,menegaskan, bahwa tidak ada satu profesi pun yang boleh ditempatkan berada di atas hukum. Hal itu sama saja dengan oligarki. “Jangankan dokter, HAKIM pun bisa dipidana, bisa dihukum berat.Kok (dokter) merasa mau berada di atas hukum. Tidak boleh di mana pun berada. Tidak ada konstitusi yang membenarkan. Tidak boleh ada arogansi profesi. Semua harus patuh pada hukum”. [KbrNet/Slm]
Filed under: Analisa, Hukum, Penderitaan Rakyat
